Rabu, 03 November 2021

Makalah Nasikh Mansukh































 

KATA PENGANTAR

 

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini tepat pada waktunya meskipun dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Harapan kami  semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman, juga membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga  untuk kedepannya kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini dengan lebih baik.

Kami menyadari bahwa maklah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah Yang Maha Kuasa senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

DAFTAR ISI

 

KATA PENGANTAR.. ii

DAFTAR ISI. iii

BAB I : Pendahuluan. 4

A.   Latar Belakang. 4

B.    Rumusan Masalah. 4

C.    Tujuan Penulisan. 4

BAB II : Pembahasan. 5

A.   Pengertian Nasikh dan Mansukh. 5

B.    Syarat- Syarat Nasakh. 6

C.    Pembagian Nasakh. 7

1.     Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. 7

2.     Nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah. 8

3.     Nasakh Sunnah dengan Al-Qur’an. 9

4.     Nasakh Sunnah dengan Sunnah. 9

D.   Ruang Lingkup Nasakh. 10

E.    Hikmah adanya Nasakh dalam Al-Qur’an. 10

BAB III : Kesimpulan. 12

A.   Kesimpulan. 12

B.    Saran. 13

DAFTAR PUSTAKA.. 14

 

 

 

 

 

 

 

 

 


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Al-Qur’an adalah kalamullah yang merupakan mu’jizat bagi Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi umat manusia untuk mencapai kebahagiaannya di dunia dan di akhirat. Dari awal hingga akhir, Al-Qur'an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu dengan lainnya. Dalam Al-Qur’an terkandung banyak hikmah dan pelajaran. Al-Qur’an memuat ayat yang mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, Ilmu pengetahuan, tentang cerita-cerita, seruan kepada uma tmanusia untuk beriman dan bertaqwa, memuat tentang ibadah, muamalah, dan lain lain.

Al Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, dalam penjelasan Al Qur’an ada yang dikemukakan secara terperinci, ada pula yang garis besarnya saja, Ada yang khusus, ada yang masih bersifat umum dan global. Ada ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan adanya gejala kontradiksi yang menurut Quraish Shihab para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat tersebut. Sehingga timbul pembahasan tentang Nasikh dan Mansukh.[1]

B.     Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini yaitu :

1)      Apa pengertian Nasih dan Mansukh

2)      Apa saja syarat-syarat Nasakh

3)      Apa saja pembagian Nasakh?

4)      Bagaimana ruang lingkup Nasakh?

5)      Apa hikmah adanya Nasakh dalam Al-Quran?

C.    Tujuan Masalah

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam masalah ini adalah:

1)   Untuk mengetahui Nasih dan Mansukh.

2)   Untuk mengetahui  syarat-syarat Nasakh.

3)   Untuk mengetahui pembagian Nasakh.

4)   Untuk mengetahui  ruang lingkup Nasakh.

5)   Untuk mengetahui hikmah adanya Nasakh dalam Al-Quran.

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Nasikh dan Mansukh

Dari segi etimologi, para ulama’ Ulumul Qur’an mengemukakan arti kata nasakh dalam beberapa makna, diantaranya adalah menghilangkan, memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain, mengganti atau menukar, membatalkan atau mengubah, dan pengalihan.[2]. Nasakh dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqh adalah membatalkan hukum syar’i dengan dalil yang datang kemudian, yang menunjukkan pembatalan, secara tersurat atau tersirat, baik pembatalan secara keseluruhan ataupun pembatalan sebagian, menurut keperluan yang ada. Atau: Melahirkan dalil yang dating kemudian yang secara implisit menghapus pelaksanaan dalil yang lebih dulu.[3]

Adapun menurut istilah dapat dikemukakan beberapa definisi sebagai berikut:

 

1)      Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan adalah:

رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي

“Mengangkat atau menghapus hukum syara’ dengan khithab (dalil) syara’ yang lain”

 

2)      Menurut Muhammad ‘Abd. Adzim al-Zarqaniy:

رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي متأخر

“Mengangkat / menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang datang kemudian”.[4]

 

Para ulama mutaqaddimin (abad I hingga abad III H) memperluas arti Nasikh sehingga mencakup beberapa hal sebagai berikut:

1)      Pembatalan hukum yang ditetapkan terlebih dahulu terjadi oleh hukum yang ditetapkan kemudian.

2)      Pengecualian hukum yang bersifat oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian.

3)      Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar.

4)      Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.[5]

 

Hal yang demikian luas dipersempit oleh ulama’ yang datang kemudian (mutaakhkhirin).  Menurut mereka nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.[6]

      Pengertian mansukh menurut bahasa berarti sesuatu yang dihapus/dihilangkan/dipindah ataupun disalin/dinukil.

Sedangkan menurut istilah para ulama’, mansukh ialah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama, yang belum diubah dengan dibatalkan dan diganti dengan hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.

      Tegasnya, dalam mansukh itu adalah berupa ketentuan hukum syara’ pertama yang telah diubah dan diganti dengan yang baru, karena adanya situasi dan kondisi yang menghendaki perubahan dan penggantian hukum.[7]

 

B.     Syarat- Syarat Nasakh

Dalam pembahasan mengenai ayat-ayat nasikh dan mansukh, perlu diketahui syarat-syarat nasakh. Syarat-syarat nasakh yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1.      Adanya mansukh (ayat yang dihapus) dengan syarat bahwa hukum yang dihapus itu adalah berupa hukum syara’ yang bersifat ‘amali, tidak terikat atau tidak dibatasi dengan waktu tertentu. Sebab, bila terikat dengan waktu maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Karena itu, maka yang demikian itu tidak dapat dinamakan dengan nasakh. Di samping itu, mansukh (ayat yang dihapus) tidak bersifat “ajeg” secara nashshi, dan ayat yang mansukh itu lebih dahulu diturunkan daripada ayat yang nasikh (menghapus).

2.      Adanya mansukh bih (ayat yang digunakan untuk menghapus), dengan syarat, datangnya dari Syari’ (Allah) atau dan Rasulullah s.a.w. sendiri yang bertugas menyampaikan wahyu dari Allah. Sebab penghapusan sesuatu hukum tidak dapat dilakukan dengan menggunakan ijma’ (konsensus) ataupun qiyas (analogi).

3.      Adanya nasikh (yang berhak menghapus), yaitu Allah. Kadang-kadang ketentuan hukum yang dihapus itu berupa al-Qur’an dan kadang-kadang pula berupa sunnah.

4.      Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu ialah orang-orang yang sudah aqil-baligh atau mukallaf), karena yang menjadi sasaran hukum yang menghapus dan atau yang dihapus itu adalah tertuju kepada mereka.[8]

 

Sedang ‘Abd. ‘Azhim al-Zarqaniy mengemukakan, bahwa nasakh baru dapat dilakukan apabila :

a.       Adanya dua ayat hukum yang saling bertolak belakang, dan tidak dapat dikompromikan, serta tidak dapat diamalkan secara sekaligus dalam segala segi.

b.      Ketentuan hukum syara’ yang berlaku (menghapus) datangnya belakangan daripada ketetapan hukum syara’ yang diangkat atau dihapus.

c.       Harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga yang lebih dahulu diturunkan ditetapkan sebagai mansukh, dan yang diturunkan kemudiannya sebagai nasikh.[9]

 

C.    Pembagian Nasakh

Umumnya para ulama’ membagi Nasakh menjadi empat macam:[10]

1.      Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an

Ulama-ulama sepakat mengatakan ini diperbolehkan dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mendukung adanya naskh dalam Alquran. Misalnya ada ayat tentang iddah empat bulan sepuluh hari yakni Q.S. al- Baqarah ayat 240:

 

وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوۡنَ مِنكُمۡ وَيَذَرُونَ أَزۡوَٰجٗا وَصِيَّةٗ لِّأَزۡوَٰجِهِم مَّتَٰعًا إِلَى ٱلۡحَوۡلِ غَيۡرَ إِخۡرَاجٖۚ فَإِنۡ خَرَجۡنَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِي مَا فَعَلۡنَ فِيٓ أَنفُسِهِنَّ مِن مَّعۡرُوفٖۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٞ

Yang artinya:

"Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".

 

Ayat ini kemudian di nasakh oleh surah yang sama pada ayat 234:

 

وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوۡنَ مِنكُمۡ وَيَذَرُونَ أَزۡوَٰجٗا يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرۡبَعَةَ أَشۡهُرٖ وَعَشۡرٗاۖ فَإِذَا بَلَغۡنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِيمَا فَعَلۡنَ فِيٓ أَنفُسِهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ

Yang artinya :

"Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri merekamenurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat".

 

2.      Nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah

Menurut Manna’ Khalil al-Qhaththan nasakh ini ada dua macam:

a.       Nasakh Al-Qur’an dengan Hadits Ahad:

Jumhur ulama’ berpendapat, Al-Qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadits ahad, sebab Qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadits ahad dzanni, bersifat dugaan, di samping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang ma’lum (jelas diketahui) dengan yang madznun (diduga).

 

b.      Nasakh Al-Qur’an dengan Hadits Mutawatir:

Naskh demikian dibolehkan oleh Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Iman Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Allah berfirman dalam surat an-Najm ayat 3-4:

وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ ۞ إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡيٞ يُوحَىٰ  

Yang artinya:

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”

Sedangkan asy-Syafi’i, Ahli Zahir dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak naskh seperti ini, berdasarkan firman Allah surat al-Baqarah ayat 106:

۞مَا نَنسَخۡ مِنۡ ءَايَةٍ أَوۡ نُنسِهَا نَأۡتِ بِخَيۡرٖ مِّنۡهَآ أَوۡ مِثۡلِهَآۗ أَلَمۡ تَعۡلَمۡ أَنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٌ

Yang artinya:

“Apa saja ayat yang Kami nasakhkan atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.”

3.      Nasakh Sunnah dengan Al-Qur’an

     Ini dibolehkan oleh jumhur. Sebagai contoh ialah shalat yang dahulunya menghadap baitul maqdis berdasarkan sunnah kemudian dinasakh oleh ayat al-Baqarah: 144

untuk menghadap ka’bah.

فَوَلِّ وَجۡهَكَ شَطۡرَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِۚ

Yang artinya :

“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram”.

 

Tetapi naskh versi ini pun ditolak oleh Syafi’i dalam salah satu riwayat. Menurutnya, apa saja yang ditetapkan sunnah tentu didukung oleh Al-Qur’an, dan apa saja yang ditetapkan Al-Qur’an tentu didukung pula oleh sunnah. Hal ini karena antara Kitab dengan sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak bertentangan.

 

4.      Nasakh Sunnah dengan Sunnah

 Dalam kategori ini terdapat empat bentuk: 1) naskh mutawatir dengan mutawatir, 2) nasakh ahad dengan ahad, 3) naskh ahad dengan mutawatir, 4) naskh mutawatir dengan ahad. Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedang pada bentuk keempat terjadi silang pendapat seperti halnya nasakh Qur’an dengan hadits ahad, yang tidak didolehkan oleh jumhur.

Adapun menasakh ijma’ dengan ijma’ dan qiyas dengan qiyas atau menasakh dengan keduanya, maka pendapat yang shohih tidak membolehkannya.[11]

Contoh nasakh sunnah dengan sunnah ialah mengenai larangan berziarah kubur pada waktu permulaan Islam. Kemudian Rasul dengan hadisnya yang lain membolehkan ziarah kubur setelah masyarakat mengetahui hakikat ziarah kubur.

 كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ أَلاَ فَزُوْرُوْهَا

Yang artinya :

Dulu aku (nabi) melarang kalian untuk ziarah kubur, sekarang berziarah kuburlah kamu.” (H.R. Muslim)

 

D.    Ruang Lingkup Nasakh

Nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat khabar (berita) yang bermakna amar (perintah) atau nahy (larangan), jika hal tersebut tidak berhubungan dengan persoalan akidah, yang berfokus kepada Zat Allah, sifat-sifat-Nya, para rasul-Nya dari hari kemudian, serta tidak berkaitan pula dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan mu’amalah. Hal ini karena semua syari’at ilahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut.

Nasakh tidak terjadi dalam berita atau kabar yang jelas-jelas tidak bermakna talab (tuntutan ; perintah atau larangan), seperti janji (al-wa’d) dan ancaman (al-wa’id).[12]

Penununjukan adanya nasakh dalam syariat. Firman Allah SWT:

وَإِذَا بَدَّلۡنَآ ءَايَةٗ مَّكَانَ ءَايَةٖ

Yang artinya

“Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain”. (An Nahl: 101)

 

Demikian juga ayat ini juga nyata menunjukkan adanya ayat Al-Qur’an yang nasikh dan mansukh, bukan hanya nasikh saja. Ayat yang Allah jadikan pengganti adalah nasikh, ayat yang digantikan adalah ayat mansukh.

 

E.     Hikmah adanya Nasakh dalam Al-Qur’an

Hikmah nasakh secara umum ialah sebagai berikut:

1)      Untuk menunjukkan bahwa syari’at agama islam adalah syari’at yang paling sempurna. Karena itu, syari’at agama islam ini menasakh semua syariat dari agama-agama sebelum islam. Sebab, syari’at Islam ini telah mencakup semua kebutuhan seluruh umat manusia dari segala periodenya, mulai dari Nabi Adam a.s. yang kebutuhan-kebutuhannya masih sederhana hingga Nabi akhir zaman, Nabi Muhammad SAW yang kebutuhan-kebutuhannya sudah banyak dan kompleks.

2)      Selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa terpelihara dalam semua keadaan dan di sepanjang zaman.

3)      Untuk menjaga agar perkembangan hukum Islam selalu relevan dengan semua situasi dan kondisi umat yang mengamalkan, mulai dari yang sederhana sampai ke tingkat yang sempurna.

4)      Untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya perubahan dan penggantian-penggantian dari nasakh itu mereka tetap taat, setia mengamalkan hukum-hukum Tuhan, atau dengan begitu lalu mereka ingkar dan membangkang?

5)      Untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia mengamalkan hukum-hukum perubahan, walaupun dari yang mudah sampai yang sulit. Sebab, semakin sulit menjalankan suatu peraturan Tuhan, akan semakin besar manfaat, faedah dan pahalanya.

6)      Untuk memberi dispensasi dan keringanan bagi umat Islam, sebab dalam beberapa nasakh banyak yang memperingan beban dan memudahkan pengamalan guna menikmati kebijaksanaan dan kemurahan Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.[13]


 

BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

1.      Nasakh adalah menghilangkan, memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain, mengganti atau menukar, membatalkan atau mengubah, dan pengalihan. Sedangkan Mansukh ialah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama, yang belum diubah dengan dibatalkan dan diganti dengan hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.

2.      Syarat-syarat nasakh adalah adanya mansukh (ayat yang dihapus), adanya mansukh bih (ayat yang digunakan untuk menghapus), adanya nasikh (yang berhak menghapus), adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu ialah orang-orang yang sudah aqil-baligh atau mukallaf).

3.      Umumnya para ulama’ membagi Nasakh menjadi empat macam, yaitu nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah, nasakh sunnah dengan Al-Qur’an, nasakh sunnah dengan sunnah.

4.      Ruang lingkup nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat khabar (berita) yang bermakna amar (perintah) atau nahy (larangan) tidak berhubungan dengan soal akidah serta tidak berkaitan pula dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan mu’amalah.

5.      Hikmah nasakh secara umum ialah untuk menunjukkan bahwa syari’at agama islam adalah syari’at yang paling sempurna, selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa terpelihara dalam semua keadaan dan di sepanjang zaman, untuk menjaga agar perkembangan hukun Islam selalu relevan dengan semua situasi dan kondisi umat yang mengamalkan, mulai dari yang sederhana sampai ke tingkat yang sempurna, untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya perubahan dan penggantian-penggantian dari nasakh itu mereka tetap taat, setia mengamalkan hukum-hukum Tuhan, atau tidak, untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia mengamalkan hukum-hukum perubahan, untuk member dispensasi dan keringanan bagi ummat Islam.

 

 

B.     Saran

Makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami sebagai penyusun makalah ini sangat mengharapkan kritik, saran, dan masukan dari pembaca dan dosen pengampu mata kuliah agar makalah ini jadi lebih sempurna. Semoga makalah ini membawa manfaat bagi para pembaca.

 


DAFTAR PUSTAKA

 

1.      Shihab, M. Quraish. 1994. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: PT Mizan Pustaka.

2.      Usman. 2009. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: TERAS.

3.      Wahhab, Khallaf, Abdul. 1997. Alih bahasa oleh Helmy, Masdar. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Gema Risalah Press.

4.      Academia.edu, “Hadis Nasikh Mansukh”, diakses dari https://www.academia.edu/10078808/hadis_nasikh_mansukh/ (24 Oktober 2018)

5.      Referensi Makalah ,” Diskursus Pendapat Ulama Tentang Nasikh” diakses dari http://www.referensimakalah.com/2013/04/diskursus-pendapat-ulama-tentang-nasikh.html/ (24 Oktober 2018)

6.      Chirzin, Muhammad. 1998. Al Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa.

7.      Djalal, Abdul. 2012. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu.

8.      Al-Qhaththan, Manna’ Khalil. 2009. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Bogor: PT. Litera AntarNusa. Halim Jaya.

 



[1] M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an (Bandung: PT Mizan Pustaka, 1994), hal. 143

[2] Usman. Ulumul Qur’an (Yogyakarta: TERAS, 2009), hal. 256

[3] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, alih bahasa Masdar Helmy, ( Bandung: Gema Risalah Press, 1997 ), hlm. 391

[4] Academia.edu, “ Hadis Nasikh Mansukh” hal. 3, diakses dari https://www.academia.edu/10078808/hadis_nasikh_mansukh/ pada tanggal 24 Oktober 2018

[5] Referensi Makalah ,” Diskursus Pendapat Ulama Tentang Nasikh” diakses dari http://www.referensimakalah.com/2013/04/diskursus-pendapat-ulama-tentang-nasikh.html/ pada tanggal 24 Oktober 2018

[6] Muhammad Chirzin. Al Qur’an dan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1998), hal. 40

[7] Abdul Djalal. Ulumul Qur’an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2012), hal. 122

[8] Usman. Ulumul Qur’an….., hal. 262

[9] Academia.edu, “ Hadis Nasikh Mansukh” hal. 5, diakses dari https://www.academia.edu/10078808/hadis_nasikh_mansukh/ pada tanggal 24 Oktober 2018

[10] Manna’ Khalil al-Qhaththan. Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Bogor: PT. Litera AntarNusa. Halim Jaya, 2009),hal. 334

[11] Manna’ Khalil al-Qhaththan. Studi Ilmu-ilmu Qur’an,….. hal. 336

[12] Manna’ Khalil al-Qhaththan. Studi Ilmu-ilmu Qur’an,….. hal. 326

[13] Abdul Djalal. Ulumul Qur’an,… hal. 148

Continue reading Makalah Nasikh Mansukh