KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan
kehadirat Allah Yang Maha Kuasa yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya
kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini tepat pada
waktunya meskipun dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Harapan
kami semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman, juga membantu
menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga untuk kedepannya kami dapat memperbaiki
bentuk maupun isi makalah ini dengan lebih baik.
Kami menyadari bahwa maklah ini
masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak
yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah Yang
Maha Kuasa senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
A. Pengertian Nasikh dan Mansukh
1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
2. Nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah
3. Nasakh Sunnah dengan Al-Qur’an
4. Nasakh Sunnah dengan Sunnah
E. Hikmah adanya Nasakh dalam Al-Qur’an
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an
adalah kalamullah yang merupakan mu’jizat bagi Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an
merupakan petunjuk bagi umat manusia untuk mencapai kebahagiaannya di dunia dan
di akhirat. Dari awal hingga akhir, Al-Qur'an merupakan kesatuan utuh. Tak ada
pertentangan satu dengan lainnya. Dalam Al-Qur’an terkandung banyak hikmah dan
pelajaran. Al-Qur’an memuat ayat yang mengandung hal-hal yang berhubungan
dengan keimanan, Ilmu pengetahuan, tentang cerita-cerita, seruan kepada uma
tmanusia untuk beriman dan bertaqwa, memuat tentang ibadah, muamalah, dan lain
lain.
Al
Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, dalam penjelasan Al Qur’an ada yang
dikemukakan secara terperinci, ada pula yang garis besarnya saja, Ada yang
khusus, ada yang masih bersifat umum dan global. Ada ayat-ayat yang sepintas
lalu menunjukkan adanya gejala kontradiksi yang menurut Quraish Shihab para
ulama berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat tersebut.
Sehingga timbul pembahasan tentang Nasikh dan Mansukh.[1]
Adapun rumusan
masalah dalam penulisan makalah ini yaitu :
1) Apa pengertian Nasih dan Mansukh
2) Apa saja syarat-syarat Nasakh
3) Apa saja pembagian Nasakh?
4) Bagaimana ruang lingkup Nasakh?
5) Apa hikmah adanya Nasakh dalam Al-Quran?
C.
Tujuan Masalah
Adapun tujuan
yang ingin dicapai dalam masalah ini
adalah:
1) Untuk mengetahui Nasih dan Mansukh.
2) Untuk mengetahui syarat-syarat Nasakh.
3) Untuk mengetahui pembagian Nasakh.
4) Untuk mengetahui ruang lingkup Nasakh.
5) Untuk mengetahui hikmah adanya Nasakh dalam
Al-Quran.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Nasikh dan Mansukh
Dari
segi etimologi, para ulama’ Ulumul Qur’an mengemukakan arti kata nasakh dalam
beberapa makna, diantaranya adalah menghilangkan, memindahkan sesuatu dari
suatu tempat ke tempat lain, mengganti atau menukar, membatalkan atau mengubah,
dan pengalihan.[2].
Nasakh dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqh adalah membatalkan hukum syar’i
dengan dalil yang datang kemudian, yang menunjukkan pembatalan, secara tersurat
atau tersirat, baik pembatalan secara keseluruhan ataupun pembatalan sebagian,
menurut keperluan yang ada. Atau: Melahirkan dalil yang dating kemudian yang
secara implisit menghapus pelaksanaan dalil yang lebih dulu.[3]
Adapun
menurut istilah dapat dikemukakan beberapa definisi sebagai berikut:
1) Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan
adalah:
رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي
“Mengangkat atau
menghapus hukum syara’ dengan khithab (dalil) syara’ yang lain”
2) Menurut Muhammad ‘Abd. Adzim
al-Zarqaniy:
رفع
الحكم الشرعي بدليل شرعي متأخر
“Mengangkat /
menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang datang kemudian”.[4]
Para
ulama mutaqaddimin (abad I hingga
abad III H) memperluas arti Nasikh sehingga mencakup beberapa hal sebagai
berikut:
1) Pembatalan hukum yang ditetapkan
terlebih dahulu terjadi oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
2) Pengecualian hukum yang bersifat oleh
hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian.
3) Penjelasan yang datang kemudian terhadap
hukum yang bersifat samar.
4) Penetapan syarat terhadap hukum
terdahulu yang belum bersyarat.[5]
Hal
yang demikian luas dipersempit oleh ulama’ yang datang kemudian (mutaakhkhirin). Menurut mereka nasakh terbatas pada ketentuan
hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan
berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu sehingga ketentuan hukum
yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.[6]
Pengertian mansukh menurut bahasa berarti
sesuatu yang dihapus/dihilangkan/dipindah ataupun disalin/dinukil.
Sedangkan menurut istilah para ulama’, mansukh ialah
hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama, yang belum diubah
dengan dibatalkan dan diganti dengan hukum dari dalil syara’ baru yang datang
kemudian.
Tegasnya, dalam mansukh itu adalah berupa
ketentuan hukum syara’ pertama yang telah diubah dan diganti dengan yang baru,
karena adanya situasi dan kondisi yang menghendaki perubahan dan penggantian
hukum.[7]
Dalam
pembahasan mengenai ayat-ayat nasikh dan mansukh, perlu diketahui syarat-syarat
nasakh. Syarat-syarat nasakh yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Adanya mansukh (ayat yang dihapus) dengan syarat bahwa hukum yang dihapus
itu adalah berupa hukum syara’ yang bersifat ‘amali, tidak terikat atau tidak
dibatasi dengan waktu tertentu. Sebab, bila terikat dengan waktu maka hukum
akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Karena itu, maka yang demikian
itu tidak dapat dinamakan dengan nasakh. Di samping itu, mansukh (ayat yang dihapus) tidak bersifat “ajeg” secara nashshi, dan ayat yang mansukh itu lebih dahulu
diturunkan daripada ayat yang nasikh (menghapus).
2. Adanya mansukh bih (ayat yang digunakan untuk menghapus), dengan syarat,
datangnya dari Syari’ (Allah) atau dan Rasulullah s.a.w. sendiri yang bertugas
menyampaikan wahyu dari Allah. Sebab penghapusan sesuatu hukum tidak dapat
dilakukan dengan menggunakan ijma’
(konsensus) ataupun qiyas (analogi).
3. Adanya nasikh (yang berhak menghapus), yaitu Allah. Kadang-kadang
ketentuan hukum yang dihapus itu berupa al-Qur’an dan kadang-kadang pula berupa
sunnah.
4. Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu ialah orang-orang yang
sudah aqil-baligh atau mukallaf), karena yang menjadi sasaran hukum yang
menghapus dan atau yang dihapus itu adalah tertuju kepada mereka.[8]
Sedang ‘Abd. ‘Azhim al-Zarqaniy
mengemukakan, bahwa nasakh baru dapat dilakukan apabila :
a. Adanya dua ayat hukum yang saling
bertolak belakang, dan tidak dapat dikompromikan, serta tidak dapat diamalkan
secara sekaligus dalam segala segi.
b. Ketentuan hukum syara’ yang berlaku
(menghapus) datangnya belakangan daripada ketetapan hukum syara’ yang diangkat
atau dihapus.
c. Harus diketahui secara meyakinkan
perurutan turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga yang lebih dahulu diturunkan
ditetapkan sebagai mansukh, dan yang diturunkan kemudiannya sebagai nasikh.[9]
Umumnya
para ulama’ membagi Nasakh menjadi empat macam:[10]
1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Ulama-ulama
sepakat mengatakan ini diperbolehkan dan telah terjadi dalam pandangan mereka
yang mendukung adanya naskh dalam Alquran. Misalnya ada ayat tentang iddah empat bulan sepuluh hari yakni
Q.S. al- Baqarah ayat 240:
وَٱلَّذِينَ
يُتَوَفَّوۡنَ مِنكُمۡ وَيَذَرُونَ أَزۡوَٰجٗا وَصِيَّةٗ لِّأَزۡوَٰجِهِم
مَّتَٰعًا إِلَى ٱلۡحَوۡلِ غَيۡرَ إِخۡرَاجٖۚ فَإِنۡ خَرَجۡنَ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيۡكُمۡ فِي مَا فَعَلۡنَ فِيٓ أَنفُسِهِنَّ مِن مَّعۡرُوفٖۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ
حَكِيمٞ
Yang
artinya:
"Dan
orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri,
hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga
setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika
mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang
meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".
Ayat ini kemudian di nasakh oleh
surah yang sama pada ayat 234:
وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوۡنَ مِنكُمۡ
وَيَذَرُونَ أَزۡوَٰجٗا يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرۡبَعَةَ أَشۡهُرٖ
وَعَشۡرٗاۖ فَإِذَا بَلَغۡنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِيمَا
فَعَلۡنَ فِيٓ أَنفُسِهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ
Yang artinya :
"Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah
para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri merekamenurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat".
2.
Nasakh
Al-Qur’an dengan Sunnah
Menurut Manna’ Khalil al-Qhaththan
nasakh ini ada dua macam:
a. Nasakh Al-Qur’an dengan Hadits Ahad:
Jumhur ulama’
berpendapat, Al-Qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadits ahad, sebab Qur’an
adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadits ahad dzanni, bersifat
dugaan, di samping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang ma’lum (jelas
diketahui) dengan yang madznun (diduga).
b. Nasakh Al-Qur’an dengan Hadits
Mutawatir:
Naskh demikian
dibolehkan oleh Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Iman Ahmad dalam satu
riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Allah berfirman dalam surat
an-Najm ayat 3-4:
وَمَا
يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ ۞ إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡيٞ يُوحَىٰ
Yang artinya:
“Dan
tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
Sedangkan asy-Syafi’i, Ahli Zahir dan Ahmad dalam
riwayatnya yang lain menolak naskh seperti ini, berdasarkan firman Allah surat
al-Baqarah ayat 106:
۞مَا نَنسَخۡ مِنۡ ءَايَةٍ أَوۡ نُنسِهَا
نَأۡتِ بِخَيۡرٖ مِّنۡهَآ أَوۡ مِثۡلِهَآۗ أَلَمۡ تَعۡلَمۡ أَنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ
كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٌ
Yang artinya:
“Apa saja ayat
yang Kami nasakhkan atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan
yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.”
3.
Nasakh
Sunnah dengan Al-Qur’an
Ini dibolehkan oleh jumhur. Sebagai contoh
ialah shalat yang dahulunya menghadap baitul maqdis berdasarkan sunnah kemudian
dinasakh oleh ayat al-Baqarah: 144
untuk menghadap
ka’bah.
فَوَلِّ
وَجۡهَكَ شَطۡرَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِۚ
Yang artinya :
“Palingkanlah
mukamu ke arah Masjidil Haram”.
Tetapi naskh
versi ini pun ditolak oleh Syafi’i dalam salah satu riwayat. Menurutnya, apa
saja yang ditetapkan sunnah tentu didukung oleh Al-Qur’an, dan apa saja yang
ditetapkan Al-Qur’an tentu didukung pula oleh sunnah. Hal ini karena antara Kitab
dengan sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak bertentangan.
4. Nasakh Sunnah dengan Sunnah
Dalam kategori ini terdapat empat bentuk: 1)
naskh mutawatir dengan mutawatir, 2) nasakh ahad dengan ahad, 3) naskh ahad
dengan mutawatir, 4) naskh mutawatir dengan ahad. Tiga bentuk pertama
dibolehkan, sedang pada bentuk keempat terjadi silang pendapat seperti halnya
nasakh Qur’an dengan hadits ahad, yang tidak didolehkan oleh jumhur.
Adapun menasakh ijma’ dengan ijma’
dan qiyas dengan qiyas atau menasakh dengan keduanya, maka pendapat yang shohih
tidak membolehkannya.[11]
Contoh nasakh sunnah dengan sunnah ialah
mengenai larangan berziarah kubur pada waktu permulaan Islam. Kemudian Rasul
dengan hadisnya yang lain membolehkan ziarah kubur setelah masyarakat
mengetahui hakikat ziarah kubur.
كُنْتُ
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ أَلاَ فَزُوْرُوْهَا
Yang artinya :
“Dulu aku (nabi) melarang kalian untuk ziarah kubur, sekarang berziarah
kuburlah kamu.” (H.R. Muslim)
Nasakh
hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas
dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat khabar (berita) yang bermakna amar
(perintah) atau nahy (larangan), jika
hal tersebut tidak berhubungan dengan persoalan akidah, yang berfokus kepada
Zat Allah, sifat-sifat-Nya, para rasul-Nya dari hari kemudian, serta tidak
berkaitan pula dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan
mu’amalah. Hal ini karena semua syari’at ilahi tidak lepas dari pokok-pokok
tersebut.
Nasakh tidak terjadi dalam
berita atau kabar yang jelas-jelas tidak bermakna talab (tuntutan ; perintah
atau larangan), seperti janji (al-wa’d)
dan ancaman (al-wa’id).[12]
Penununjukan adanya nasakh dalam
syariat. Firman Allah SWT:
وَإِذَا
بَدَّلۡنَآ ءَايَةٗ مَّكَانَ ءَايَةٖ
Yang artinya
“Dan
apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain”. (An Nahl: 101)
Demikian juga ayat ini juga nyata
menunjukkan adanya ayat Al-Qur’an yang nasikh dan mansukh, bukan hanya nasikh
saja. Ayat yang Allah jadikan pengganti adalah nasikh, ayat yang digantikan
adalah ayat mansukh.
E. Hikmah
adanya Nasakh dalam Al-Qur’an
Hikmah nasakh secara umum ialah sebagai berikut:
1) Untuk menunjukkan bahwa syari’at agama
islam adalah syari’at yang paling sempurna. Karena itu, syari’at agama islam
ini menasakh semua syariat dari agama-agama sebelum islam. Sebab, syari’at
Islam ini telah mencakup semua kebutuhan seluruh umat manusia dari segala
periodenya, mulai dari Nabi Adam a.s. yang kebutuhan-kebutuhannya masih
sederhana hingga Nabi akhir zaman, Nabi Muhammad SAW yang
kebutuhan-kebutuhannya sudah banyak dan kompleks.
2) Selalu menjaga kemaslahatan hamba agar
kebutuhan mereka senantiasa terpelihara dalam semua keadaan dan di sepanjang
zaman.
3) Untuk menjaga agar perkembangan hukum
Islam selalu relevan dengan semua situasi dan kondisi umat yang mengamalkan,
mulai dari yang sederhana sampai ke tingkat yang sempurna.
4) Untuk menguji orang mukallaf, apakah
dengan adanya perubahan dan penggantian-penggantian dari nasakh itu mereka
tetap taat, setia mengamalkan hukum-hukum Tuhan, atau dengan begitu lalu mereka
ingkar dan membangkang?
5) Untuk menambah kebaikan dan pahala bagi
hamba yang selalu setia mengamalkan hukum-hukum perubahan, walaupun dari yang
mudah sampai yang sulit. Sebab, semakin sulit menjalankan suatu peraturan Tuhan,
akan semakin besar manfaat, faedah dan pahalanya.
6) Untuk memberi dispensasi dan keringanan
bagi umat Islam, sebab dalam beberapa nasakh banyak yang memperingan beban dan
memudahkan pengamalan guna menikmati kebijaksanaan dan kemurahan Allah SWT yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.[13]
PENUTUP
1. Nasakh adalah menghilangkan, memindahkan
sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain, mengganti atau menukar, membatalkan
atau mengubah, dan pengalihan. Sedangkan Mansukh ialah hukum syara’ yang
diambil dari dalil syara’ yang pertama, yang belum diubah dengan dibatalkan dan
diganti dengan hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.
2. Syarat-syarat nasakh adalah adanya mansukh (ayat yang dihapus), adanya mansukh bih (ayat yang digunakan untuk
menghapus), adanya nasikh (yang
berhak menghapus), adanya mansukh ‘anhu
(arah hukum yang dihapus itu ialah orang-orang yang sudah aqil-baligh atau mukallaf).
3. Umumnya para ulama’ membagi Nasakh
menjadi empat macam, yaitu nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, nasakh Al-Qur’an
dengan Sunnah, nasakh sunnah dengan Al-Qur’an, nasakh sunnah dengan sunnah.
4. Ruang lingkup nasakh hanya terjadi pada
perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang
diungkapkan dengan kalimat khabar
(berita) yang bermakna amar
(perintah) atau nahy (larangan) tidak
berhubungan dengan soal akidah serta tidak berkaitan pula dengan etika dan
akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan mu’amalah.
5. Hikmah nasakh secara umum ialah untuk
menunjukkan bahwa syari’at agama islam adalah syari’at yang paling sempurna,
selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa terpelihara
dalam semua keadaan dan di sepanjang zaman, untuk menjaga agar perkembangan
hukun Islam selalu relevan dengan semua situasi dan kondisi umat yang
mengamalkan, mulai dari yang sederhana sampai ke tingkat yang sempurna, untuk
menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya perubahan dan
penggantian-penggantian dari nasakh itu mereka tetap taat, setia mengamalkan
hukum-hukum Tuhan, atau tidak, untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba
yang selalu setia mengamalkan hukum-hukum perubahan, untuk member dispensasi
dan keringanan bagi ummat Islam.
Makalah ini sangat jauh dari
kesempurnaan, maka dari itu kami sebagai penyusun makalah ini sangat
mengharapkan kritik, saran, dan masukan dari pembaca dan dosen pengampu mata
kuliah agar makalah ini jadi lebih sempurna. Semoga makalah ini membawa manfaat
bagi para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
1. Shihab, M. Quraish. 1994. Membumikan
Al-Qur’an. Bandung: PT Mizan Pustaka.
2. Usman. 2009. Ulumul Qur’an. Yogyakarta:
TERAS.
3. Wahhab, Khallaf, Abdul. 1997. Alih
bahasa oleh Helmy, Masdar. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Gema Risalah Press.
4. Academia.edu, “Hadis Nasikh Mansukh”,
diakses dari https://www.academia.edu/10078808/hadis_nasikh_mansukh/ (24 Oktober 2018)
5. Referensi Makalah ,” Diskursus Pendapat
Ulama Tentang Nasikh” diakses dari http://www.referensimakalah.com/2013/04/diskursus-pendapat-ulama-tentang-nasikh.html/
(24 Oktober 2018)
6. Chirzin, Muhammad. 1998. Al Qur’an dan
Ulumul Qur’an. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa.
7. Djalal, Abdul. 2012. Ulumul Qur’an.
Surabaya: Dunia Ilmu.
8. Al-Qhaththan, Manna’ Khalil. 2009. Studi
Ilmu-ilmu Qur’an. Bogor: PT. Litera AntarNusa. Halim Jaya.
[1] M. Quraish
Shihab. Membumikan Al-Qur’an (Bandung: PT Mizan Pustaka, 1994), hal. 143
[2] Usman. Ulumul
Qur’an (Yogyakarta: TERAS, 2009), hal. 256
[3] Abdul Wahhab
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, alih bahasa Masdar Helmy, ( Bandung: Gema Risalah
Press, 1997 ), hlm. 391
[4] Academia.edu,
“ Hadis Nasikh Mansukh” hal. 3, diakses dari
https://www.academia.edu/10078808/hadis_nasikh_mansukh/ pada tanggal 24 Oktober
2018
[5] Referensi
Makalah ,” Diskursus Pendapat Ulama Tentang Nasikh” diakses dari http://www.referensimakalah.com/2013/04/diskursus-pendapat-ulama-tentang-nasikh.html/ pada tanggal 24 Oktober 2018
[6] Muhammad
Chirzin. Al Qur’an dan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa,
1998), hal. 40
[7] Abdul Djalal.
Ulumul Qur’an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2012), hal. 122
[8] Usman. Ulumul
Qur’an….., hal. 262
[9] Academia.edu,
“ Hadis Nasikh Mansukh” hal. 5, diakses dari
https://www.academia.edu/10078808/hadis_nasikh_mansukh/ pada tanggal 24 Oktober
2018
[10] Manna’ Khalil
al-Qhaththan. Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Bogor: PT. Litera AntarNusa. Halim Jaya,
2009),hal. 334
[11] Manna’ Khalil
al-Qhaththan. Studi Ilmu-ilmu Qur’an,….. hal. 336
[12] Manna’ Khalil
al-Qhaththan. Studi Ilmu-ilmu Qur’an,….. hal. 326
[13] Abdul Djalal.
Ulumul Qur’an,… hal. 148